Banner

Video Rekaman Demo Bucthar Ikut Diputar

PH Minta Kapolsekta, Kapolresta DihadirkanJAYAPURA-Sidang kelima dugaan kasus makar dengan terdakwa Buchtar Tabuni di Pengadilan Negeri Jayapura, Rabu (25) kembali digelar di PN Negeri Jayapura, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Dari 5 saksi yang rencana dihadirkan, ternyata hanya dihadiri 3 orang saksi dan semuanya dari aparat kepolisian. Dan seperti biasa sebelum maupun saat dilakukan sidang, aparat kepolisian dari Dalmas Polresta Jayapura maupun Brimobda Papua disiagakan sejak pagi dengan perlengkapan huru hara. Seperti sidang sebelumnya pula, kelompok massa pendukung Buchtar tetap setia mengiringi sidang dengan melakukan orasi di depan pengadilan. Begitu pula bagi masyarakat yang hendak mengikuti persidangan harus melewati screen di pintu masuk.Pantauan Cenderawasih Pos mobil tahanan yang membawa Buchtar Tabuni dengan dikawal 2 truk Dalmas masuk ke halaman pengadilan pukul 10.30 WIT. Setelah semua perangkat pengadilan, hakim, jaksa penuntut umum (JPU) dan Penasehat Hukum (PH) terdakwa lengkap sidang akhirnya dimulai. Dalam sidang ke lima Rabu lalu Buchtar didampingi 11 PH dan terlihat sekali Buhctar lebih enjoy dibanding sidang-sidang sebelumnya. Pakaian kebesarannya, termasuk topi bercorak Army juga dipakainnya. Sidang dipimpin Majelis Hakim, Manungku Prasetyo, SH, lucky Rombot Kalalo, SH dan Hotnar Simarmata, SH,MH dengan JPU, Maskel Rambolangi, SH, Edi S.Utomo, SH dan Alin Michel Rambi, SH.Keterangan dari saksi pertama Mario Warimon menjelaskan bahwa benar ia mendengar dan melihat langsung orasi yang dilakukan Buchtar dan ada 3 spanduk berisi materi tuntutan yang dibawa pendemo. "Mereka membawa spanduk dengan tulisan Review PEPERA latar belakang gambar pulau Papua," aku Mario membenarkan pertanyaan JPU. Hanya saksi tidak mengetahui persis nama dari orang-orang yang melakukan orasi. "Yang saya lihat saat itu massa diminta untuk membubarkan diri oleh aparat karena tidak memiliki STTP tetapi massa tetap bersikeras melakukan orasi yang memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan ke DPRP," jelas saksi Mario yang mengaku mendapat perintah dari atasannya untuk melakukan pengamanan tertutup sekaligus mendokumentasikan kejadian saat itu.Saksi juga menyampaikan bahwa ada kalimat yang diucapkan Buhctar langsung yakni akan melaporkan secara resmi ke dunia bahwa republik Indonesia tidak mampu memecahkan masalah di Papua dan kami butuh negara lain. JPU, Edi Utomo sempat melakukan protes dengan pertanyaan mengenai STTP karena dianggap bukan kompeten saksi untuk menjawab dan protes tersebut akhirnya ditengahi majelis jakim. "Selain itu ada spanduk yang bergambar bendera Belanda, Bintang Kejora dan bendera PBB," akunya. Dari sidang kemarin JPU juga mempertontonkan beberapa video rekaman demo pada 16 Oktober 2008 dan semua yang dijawab oleh saksi sesuai dengan isi rekaman. Disela-sela tontotan ini Buchtar dan beberapa PH terlihat serius menyimak. Beberapa kali Buchtar sempat gigit jari dan menggeleng-gelengkan kepala yang tidak diketahui maksudnya.Buchtar juga sempat merespon isi rekaman saat dikatakan review PEPERA dimana secara spontan pria kelahiran 10 Oktober 1979 ini langsung memberikan tepuk tangan dan diikuti beberapa pendukungnya. Dari pertanyaan Juhari SH saksi mengakui bahwa tidak ada pernyataan yang dilontarkan terdakwa tentang kalimat 'Papua' dan dijawab sendiri 'merdeka' akan tetapi saksi melihat ada orasi lain persis dilakukan Buhctar yang dibawakan oleh Viktor Yeimo dengan meneriaki 'Papua' dan dijawab oleh massa 'merdeka'. Saksi kedua menghadirkan Wakapolsekta Abepura, Iptu Don Pieter yang juga mengatakan bahwa keberadaannya dilokasi demoa berdasar surat perintah dari pimpinannya, Kapolresta Jayapura. Saksi membenarkan bahwa saat dilakukan orasi sempat terjadi kemacetan namun tidak berlangsung lama karena asru kendaraan akhirnya dialihkan.Dan untuk memperdalam maksud dari surat perintah terhadap saksi-saksi yang diajukan JPU, PH meminta agar Kapolresta Jayapura dan Kapolsekta Abepura ikut dihadirkan guna mengetahui maksud perintah soal pengamanan maupun pencegahan. "Kami harap majelis hakim bisa memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan Kapolresta maupun Kapolsekta agar semuanya gambling maksud dari surat perintah yang disebutkan saksi," pinta Johanis H.Marturbnongs, SH pada majelis hakim. Keterangan saksi lain diberikan Kanit Lantas Polsekta Ipda Habel Mansi. Keterangan yang disampaikan hanya membenarkan bahwa ada yang melakukan orasi dan sempat dilakukan pengalihan arus lalu lintas. Saat itu dikatakan tugasnya lebih difokuskan bagaimana membuat arus lalu lintas berjalan lancar.Sidang yang sempat diskor selama 30 menit ini akan dilanjutkan Rabu depan (1/4) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi. Diakhir sidang, salah satu PH Buchtar, Iwan Niode, SH menyampaikan bahwa selama ini semua saksi adalah aparat kepolisian yang notabene berada di lapangan. Namun dakwaan yang disampaikan terlihat standart dimana hanya menjelaskan ada kerumunan maupun orasi .Menurut Iwan dari semua penjelasan PH melihat orasi yang dilakukan hanya berupa kebebasan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh undang-undang nomor 8 tahun 1999 tetapi hal yang harus diluruskan dengan mendapat pemahaman dari seluruh masyarakat termasuk aparat kepolisian adalah setiap kegiatan unjuk rasa 3 hari sebelum kegiatan harus sudah memberikan surat pemberitahuan dan bukan surat ijin. Ketika surat pemberitahuan ini disampaikan, maka kepolisian wajib memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) jika diperbolehkan. Dan jika tidak ada pemberitahuan atau tanggapan dari surat pengajuan tadi maka aparat kepolisian sudah melanggar hukum karena itu adalah kewajiban yang harus dilakukan." Dan dalam konteks ini tidak ada. Mengganjal!. Mereka tidak memberikan jawaban dan tiba-tiba malamnya muncul kabar bahwa kegiatan yang direncanakan dilarang dan setiap memberikan keterangan pers dikatakan mereka tidak memiliki STTP padahal memang tidak ada jawaban konkrit," papar Iwan yang juga menambahkan tidak ada penjelasan alasan pelarangan tadi. Dan orasi yang dilakukan Buchtar Cs pada waktu itu menurut kacamata Iwan Cs masih dalam kerangka demokrasi yang sering sekali disuarakan dalam setiap kegiatan unjuk rasa dan dianggap tidak ada untuk yang bernuansa makar. "Jika saya berbicara review PEPERA apa mereka harus menangkap saya," tanya Iwan. Sementara pantauan Cenderawasih Pos di tengah pendemo banyak diikuti muka-muka baru dengan semangat setengah jadi. Dari beberapa pendemo baru ini juga terlihat kaku ketika melihat ada mengambil gambar karena menganggap semua yang mengambil gambar adalah dari pihak aparat maupun intelejen. Materi orasi yang dibawakan juga masih sama seperti minggu kemarin dimana meminta Buhctar dan Sebi Sembom dibebaskan dan menyatakan bahwa persidangan Buchtar adalah sandiwara politik yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.Hanya sayangnya dikatakan juga bahwa dari insiden beberapa minggu terakhir yang dilakukan OPM pimpinan Goliath Tabuni dengan tujuan membela rakyat dan memperjuangkan apa yang menjadi tuntutan rakyat selama ini. "Goliat Tabuni, Buchtar Tabuni dan lain-lain adalah pahlawan , mereka semua berjuang demi rakyat," ujar seorang korlap seperti terekam dalam rekaman. (ade)

POLITICS AND SOCIAL IN WEST PAPUA


The fiercely proud, nationalist Indonesians believed very strongly that West Papua was part of their sovereign territory and President Sukarno first tried a diplomatic solution to this problem by taking the case to the United Nations. This failed and Sukarno withdrew Indonesia from the UN in protest and started a military campaign to take West Papua by force, led by General (later President) Suharto. Finally in 1962, against a background of relinquished US and European support and an escalating military bill, the Dutch bit the bullet and West Papua was passed into UN control with the aim of an orderly hand-over to Indonesia. The transition was not easy and the Indonesian government clearly made many mistakes in their attempted "Indonesianisation" of West Papua. Some conflicts with the local inhabitants continued but by the early 1990s the process seemed to be proceeding more smoothly even if there were grievances that too little of the vast natural mineral wealth of West Papua was finding its way back to locals.

After the Suharto "New Order" regime was overthrown in 1997, the incipient West Papuan independence movement was re-born. It is that movement that has gained some momentum (although nothing like as much as in Aceh for example).

It is understandable if such unrest might put off potential travellers to West Papua. The purpose of this explanation is to allay those fears. We have excellent local contacts in each of the main areas of West Papua and we are always very well informed of local conditions and activities. If there is any obvious danger, then a trip will not be undertaken. Kelly Woolford is immensely respected by Papuan tribal chiefs and ordinary folk, and this alone is almost enough to guarantee the safety of anybody travelling with him. It should also be understood that the peoples of Wamena are the most welcoming and warm-hearted individuals - they love having visitors. Their grievances are with the Indonesian central government and most certainly not with western visitors.

In summary, through our unparalleled contacts and relationships in West Papua, please be assured that we will never take undue risks with any client's safety





In order to understand the current political situation it is necessary to examine recent history. What is now known as Indonesia was the key Dutch colony until the end of the Second World War. The struggle to achieve independence was hard fought and the Dutch were most reluctant to let go of their Asian jewel. After the Indonesians, led by President Sukarno, declared independence in 1945, the Dutch did not formally cede sovereignty until the end of 1949 and then only after considerable world pressure. All of the old Dutch East Indies became the Republic of Indonesia with the EXCEPTION of Dutch New Guinea or Irian Jaya (we will refer to this as West Papua from now on). Through a manner of rather devious tactics the Dutch managed to retain some sort of control of West Papua until the early 1960s
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More